bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

Friday 11 December 2015

Lafadz Adzan dan Iqomat dan Serta Dalilnya

السلام عليكم

Salam Rahayu dan Damai Selalu
Sahabatku yang baik hati.
Sebelum kita melakukan sholat, kita disunahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah ketika sudah masuk waktunya sholat. Maka dari mari kita bahas bersama tata cara dan sejarahnya adzan.



Arti dan Tujuan Adzan

Secara bahasa, adzan bermakna i’lam yaitu pengumuman, pemberitahuan atau pemakluman, sebagaimana disebutkan dalam Mukhtarush Shihhah (hal. 16), At-Ta’rifat oleh Al-Jurjani (hal. 23), dan lainnya.
Adapun secara syar'i, adzan adalah : pemberitahuan datangnya waktu shalat dengan menyebutkan lafadz-lafadz yang khusus. (Fathul Bari 2/102, Al-Mughni Kitabush Shalah, bab Al-Adzan)
Abul Hasan Al-Mawardi  menerangkan, asal adzan ini adalah firman Allah
”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk mengerjakan shalat pada hari Jum’at maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah…” (Al-Jumu’ah: 9)
Dan firman-Nya:
“Dan apabila kalian menyeru mereka untuk mengerjakan shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan…” (Al-Maidah: 58) [Al-Hawil Kabir, 2/40]
Ibnu Mulaqqin  berkata, “Ulama menyebutkan empat hikmah adzan:
1. Menampakkan syiar Islam
2. Kalimat tauhid
3. Pemberitahuan telah masuknya waktu shalat dan pemberitahuan tempat pelaksanaan shalat.
4. Ajakan untuk menunaikan shalat berjamaah.” (dinukil dari Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/513 )

Keutamaan Adzan dan Muadzin

Banyak hadits yang datang menyebutkan keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin). Di antaranya berikut ini:
Abu Hurairah  mengatakan, Rasulullah  bersabda:

إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ

”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi…” (HR. Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267)
Dari Abu Hurairah  juga, ia mengabarkan sabda Rasulullah :

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا

”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang di dapatkan dalam adzan dan shaf yang awal kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan berundi niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya…” (HR. Al-Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)
Mu'awiyah  berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

الْمؤَذِّنُوْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 850)
Abu Sa’id Al-Khudri  mengabarkan dari Rasulullah :

لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatu apapun yang mendengar suara lantunan adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 609)
Ibnu ’Umar  berkata: Rasulullah  bersabda:

يُغْفَرُ لِلْمْؤَذِّنِ مُنْتَهَى أَذَانِهِ وَيَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ سَمِعَهُ

”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah ataupun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad 2/136. Asy-Syaikh Ahmad Syakir t berkata: “Sanad hadits ini shahih.”)
Ibnu Mas’udz berkata: Ketika kami bersama Rasulullah  dalam satu perjalanan, kami mendengar seseorang menyerukan, ”Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabiyullah  bersabda, ”Dia di atas fithrah.” Terdengar lagi seruannya, ”Asyhadu an laa ilaaha illallah.” ”Ia keluar dari api neraka,” kata Rasulullah . Kami pun bersegera ke arah suara seruan tersebut. Ternyata orang itu adalah pemilik ternak yang mendapati waktu shalat ketika sedang menggembalakan hewannya, lalu ia menyerukan adzan. (HR. Ahmad 1/407-408. Guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata, ”Hadits ini shahih di atas syarat Syaikhain.” Lihat Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/56, 57)
Rasulullah  mendoakan para imam dan muadzin:

اللَّهُمَّ أَرْشِدِ الْأَئِمّةَ وَاغْفِرْ لِلَمْؤَذِّنِيْنَ

”Ya Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.” (HR. Abu Dawud no. 517 dan At-Tirmidzi no. 207, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 217, Al-Misykat no. 663)
Aisyah  berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

الْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، فَأَرْشَدَ اللهُ الْأَئِمّةَ وَعَفَا عَنِ المْؤَذِّنِيْنَ

“Imam adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi, maka semoga Allah memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkan para muadzin.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 239)
Awal Dikumandangkannya Adzan
Ibnu Umar  berkata, “Ketika awal kedatangan kaum muslimin di Madinah, mereka datang untuk mengerjakan shalat dengan memperkirakan waktu berkumpulnya mereka, karena tidak ada orang yang khusus bertugas menyeru mereka berkumpul untuk shalat. Suatu hari mereka membicarakan hal ini. Sebagian mereka berkata, ‘Kita akan menggunakan lonceng seperti loncengnya Nasrani untuk memanggil orang-orang agar berkumpul untuk mengerjakan shalat.’ Sebagian lain mengatakan, ‘Kita pakai terompet seperti terompetnya Yahudi.’  Namun Umar mengusulkan, ‘Tidakkah sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk menyerukan panggilan shalat?’ Nabi  pun bersabda:

يَا بِلاَلُ، قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ

“Bangkitlah wahai Bilal, kumandangkanlah seruan untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 604 dan Muslim no. 835)
Dalam hadits Anas bin Malik  yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari  (no. 603) juga disebutkan ada yang mengusulkan untuk menyalakan api sebagai tanda ajakan shalat.
Namun semua usulan ditolak oleh Rasululllah  karena ada unsur penyerupaan dengan orang-orang kafir. Sementara kita dilarang tasyabbuh (menyerupai) dengan ashabul jahim (para penghuni neraka) ini.

Dari hadits Ibnu Umar  di atas, tampak bagi kita beberapa perkara:
1. Seruan untuk berkumpul mengerjakan shalat baru disyari'atkan di Madinah setelah kedatangan Rasulullah . Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa adzan telah disyariatkan di Makkah atau pada malam Isra’, tidak ada satu pun yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafizh  dalam Fathul Bari (2/104).
2. Seruan untuk shalat yang diperintahkan Rasulullah  kepada Bilal  bukanlah lafadz-lafadz adzan yang kita kenal, karena lafadz-lafadz tersebut baru dikumandangkan Bilal setelah Abdullah bin Zaid  bermimpi mendengar lafadz-lafadz adzan.
Al-QadhiIyadh  berkata, “Disebutkan dalam hadits bahwa Umar mengisyaratkan kepada mereka untuk mengumandangkan seruan. Ia berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk menyerukan panggilan shalat?  Lahir dari ucapan ini bahwa seruan tersebut berupa pemberitahuan semata, bukan adzan yang khusus sebagaimana yang disyariatkan. Tetapi berupa pemberitahuan untuk shalat, bagaimana pun caranya.” (Al-Ikmal, 2/237)
Tentang awal pengumandangan adzan ini juga disebutkan dalam hadits berikut ini:
Abu Umair bin Anas mengabarkan dari pamannya seorang dari kalangan Anshar: Nabi  memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat berjamaah. Ada yang mengusulkan pada beliau, ”Pancangkan bendera ketika telah tiba waktu shalat, sehingga bila orang-orang melihatnya, mereka akan saling memanggil untuk menghadiri shalat.” Namun usulan tersebut tidak berkenan di hati Rasulullah .
Ada yang mengusulkan terompet, namun Rasulullah  juga tidak berkenan menerimanya, bahkan beliau mengatakan, ”Itu perbuatan Yahudi.”
Ada yang usul lonceng, beliau bersabda, ”Itu urusan Nasrani.”
Pulanglah Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi  dalam keadaan hatinya dipenuhi pikiran tentang kegelisahan Rasulullah . Ketika tidur, ia bermimpi mendengar adzan.
Di pagi harinya ia menemui Rasulullah n untuk memberitakan mimpi tersebut, ”Wahai Rasulullah, aku berada di antara tidur dan terjaga tiba-tiba datang kepadaku seseorang lalu ia menunjukkan adzan kepadaku.” Sebelumnya Umar ibnul Khaththab  telah bermimpi tentang adzan namun ia menyembunyikannya (tidak memberitahukan tentang mimpinya selama 20 hari. Setelah itu barulah Umar memberitakan mimpinya kepada Nabi . ”Apa yang menghalangimu untuk memberitahukan mimpimu kepadaku?” tanya Rasulullah n kepada Umar . Kata Umar, ”Abdullah bin Zaid telah mendahului saya, saya pun malu.” Rasulullah  bersabda, ”Wahai Bilal, bangkitlah, perhatikan apa yang diajarkan Abdullah bin Zaid lalu ucapkanlah.” Bilal pun mengumandangkan adzan. (HR. Abu Dawud no. 498, kata Al-Hafizh Ibnu Hajar  dalam Fathul Bari 2/107, ”Sanadnya shahih.” Hadits ini dihasankan dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Al-Jami’ush Shahih 2/62)
Dengan demikian, seruan untuk shalat telah melewati tiga tahapan:
Pertama: Ketika awal diwajibkan shalat di Makkah (tiga tahun sebelum hijrah), belum ada seruan untuk shalat sama sekali. Hal ini terus berlangsung sampai Nabi  hijrah ke Madinah. Pada masa itu, untuk berkumpul kaum muslimin hanya memperkirakan waktunya.
Kedua: Ada seruan umum yang dikumandangkan Bilal untuk berkumpul guna mengerjakan shalat setelah terjadi musyawarah Rasulullah  dan para sahabatnya, atas usulan Umar ibnul Khaththab .
Ketiga: Dikumandangkannya adzan yang syar’i setelah Abdullah bin Zaid  mendengarnya dalam mimpinya.

Hukum Adzan

Dari Malik bin al-Huwairits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.

"Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Dan hendak-lah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian.


Al-Imam An-Nawawi  berkata tentang pendapat ulama dalam masalah hukum adzan berikut iqamat, “Mazhab kami (Syafi’iyyah) yang masyhur menetapkan hukum keduanya sunnah bagi setiap shalat, baik yang mukim ataupun dalam perjalanan, baik shalat jamaah ataupun shalat sendiri. Keduanya tidaklah wajib. Bila ditinggalkan, sah shalat orang yang sendirian atau berjamaah. Demikian pula pendapat Abu Hanifah  dan murid-muridnya, serta pendapat Ishaq bin Rahawaih . As-Sarkhasi  menukilkannya dari jumhur ulama. Ibnul Mundzir  berkata, “Adzan dan iqamat wajib hukumnya dalam shalat berjamaah baik di waktu mukim ataupun bepergian.”

Al-Imam Malik menyatakan, “Wajib dikumandangkan di masjid yang ditegakkan shalat berjamaah di dalamnya.”
Atha dan Al-Auza’i rahimahumallah berkata, “Bila lupa iqamat, shalat harus diulangi.” Dalam satu riwayat dari Al-Auza’i t, “Orang itu mengulangi shalatnya selama waktu shalat masih ada.”
Al-‘Abdari t berkata, “Hukum keduanya sunnah menurut Al-Imam Malik , dan fardhu kifayah menurut Al-Imam Ahmad .”
Dawud t mengatakan, “Keduanya wajib bagi shalat berjamaah, namun bukan syarat sahnya.”

Mujahid berpendapat, “Bila lupa iqamat dalam shalat ketika bepergian, ia harus mengulangi shalatnya.”
Al-Muhamili  mengatakan, “Ahlu zahir berkata bahwa adzan dan iqamat wajib bagi seluruh shalat, namun mereka berbeda pendapat tentang keberadaannya apakah sebagai syarat sahnya shalat ataukah tidak.” (Al-Majmu’, 3/90)

Di antara pendapat yang ada, maka yang kuat dalam pandangan kita adalah pendapat yang menyatakan wajib/fardhu kifayah, dengan dalil-dalil berikut ini:

1. Hadits Malik ibnul Huwairits , ia berkata: Kami mendatangi Nabi  di Madinah dalam keadaan kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal di sisi beliau selama 20 hari 20 malam. Adalah Rasulullah  seorang yang pengasih lagi penyayang. Ketika beliau yakin kami telah merindukan keluarga kami, beliau menanyakan tentang keluarga yang kami tinggalkan, maka kami pun menyampaikannya. Beliau bersabda:


ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ، فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ– وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا –وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Kembalilah kalian menemui keluarga kalian, tinggallah bersama mereka, ajari dan perintahkan mereka.Beliau lalu menyebut beberapa perkara ada yang aku ingat dan ada yang tidak–. Shalatlah kalian sebagaimana cara shalatku yang kalian lihat. Bila telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan hendaknya yang paling besar/tua dari kalian menjadi imam.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)

2. Hadits Amr bin Salamah, di dalamnya disebutkan sabda Rasulullah :


صَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِي حِيْنِ كَذَا، وَصَلُّوا كَذَا فِي حِيْنِ كَذَا، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا



“Kerjakanlah oleh kalian shalat ini di waktu ini dan shalat itu di waktu itu. Bila telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan hendaknya yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Qur’annya.” (HR. Al-Bukhari no. 4302)

Ibnu Hazm  berkata, “Dengan dua hadits ini pastilah kebenaran pendapat yang mengatakan adzan itu wajib secara umum bagi setiap shalat, dan bahwa adzan baru diserukan setelah masuknya waktu shalat. Iqamat juga masuk dalam perkara ini.” (Al-Muhalla, 2/165)

Beliau juga berkata, “Di antara yang berpendapat wajibnya adzan adalah Abu Sulaiman dan murid-muridnya. Kami tidak mengetahui adanya hujjah sama sekali bagi yang berpendapat adzan itu tidak wajib. Seandainya tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya adzan kecuali penghalalan Rasulullah  terhadap darah orang-orang yang tinggal di sebuah negeri karena tidak terdengar adzan diserukan di negeri tersebut, dihalalkan harta mereka dan menawan mereka, niscaya ini sudah cukup untuk menyatakan wajibnya. Pendapat ini merupakan kesepakatan yang diyakini oleh seluruh sahabat g tanpa diragukan, maka ini merupakan ijma’ yang dipastikan kebenarannya.” (Al-Muhalla, 2/166)

Ibnul Mundzir t dalam Al-Ausath (3/24) berkata, “Adzan dan iqamat adalah dua kewajiban bagi setiap (shalat) berjamaah, baik dalam keadaan mukim (tidak bepergian/safar) maupun sedang safar. Karena Nabi  memerintahkan agar adzan diserukan. Perintah beliau menunjukkan wajib. Nabi  pernah memerintahkan Abu Mahdzurah agar menyerukan adzan di Makkah dan beliau juga pernah menyuruh Bilal adzan. Semua ini menunjukkan wajibnya adzan.”

Al-Imam Al-Albani t berkata, “Secara mutlak, tidak diragukan lagi batilnya pendapat yang mengatakan adzan hukumnya mustahab. Bagaimana bisa dihukumi mustahab, sementara adzan termasuk syi'ar Islam yang terbesar, yang mana dahulu Nabi  bila tidak mendengar seruan 'dzan di daerah suatu kaum, beliau mendatangi mereka untuk memerangi mereka dan melakukan penyerangan terhadap mereka. Sebaliknya bila mendengar adzan diserukan di tengah mereka, beliau menahan diri dari memerangi mereka sebagaimana disebutkan haditsnya dalam Shahihain dan selainnya.

Telah pasti pula adanya hadits shahih dari selain Shahihain yang berisi perintah untuk mengumandangkan adzan. Yang namanya kewajiban bisa ditetapkan dengan yang lebih sedikit dari apa yang telah disebutkan. Maka pendapat yang benar adalah adzan hukumnya fardhu kifayah. Pendapat inilah yang dishahihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam Al-Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan adzan diwajibkan walaupun seseorang shalat sendirian sebagaimana akan disebutkan dalilnya.” (Tamamul Minnah, hal. 144)

Di antaranya riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (no.1203), An-Nasa’i (no. 666), dan Ahmad (4/157) dari hadits Uqbah bin Amir z secara marfu’:



يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ وَيُصَلِّي، فَيَقُوْلُ اللهُ : انْظُرُوْا إِلَى عَبْدِيْ هَذَا، يُؤَذِّنُ وَيُقِيْمُ الصَّلاَةَ، يَخَافُ مِنِّي، فَقَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ

Rabb kalian kagum dengan seorang penggembala kambing di puncak gunung yang mengumandangkan adzan untuk shalat dan setelahnya ia menunaikan shalat. Allah  berfirman, “Lihatlah oleh kalian hamba-Ku ini, ia adzan dan menegakkan shalat dalam keadaan takut kepada-Ku, maka Aku ampuni hamba-Ku ini dan Aku masukkan ia ke dalam surga.” (Al-Imam Al-Albani  berkata dalam Ash-Shahihah no. 41, “Hadits ini shahih.”)

Adapun iqamat, menurut Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan seluruh fuqaha rahimahumullah, hukumnya sunnah muakkadah, dan orang yang meninggalkannya tidak perlu mengulang shalatnya.
Sedangkan menurut Al-Auza’i, Atha’, Mujahid, dan Ibnu Abi Laila, iqamat ini wajib, dan yang meninggalkannya harus mengulangi shalatnya. Demikian pula pendapat ahlu zahir. Wallahu a’lam. (Al-Ikmal, 2/232-234)
Yang kuat/rajih adalah pendapat yang menyatakan iqamat hukumnya fardhu kifayah dalam shalat berjamaah, baik dalam shalat mukim ataupun safar dengan dalil hadits Malik ibnul Huwairits . Adapun bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) hukumnya mustahab, tidak wajib. Dalilnya adalah hadits Salman :
Border Outset

إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بِأَرْضِ قِيّ، فَحَانَتِ الصَّلاَةُ فَلْيَتَوَضَّأْ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً فَلْيَتَيَمَّمْ، فَإِنْ أَقَامَ صَلَّى مَعَهُ مَلَكَاهُ، وَإِنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ جُنُوْدِ اللهِ مَا لاَ يُرَى طَرْفَاهُ


“Apabila seseorang berada di padang tandus, lalu datang waktu shalat hendaklah ia berwudhu. Bila ia tidak mendapati air hendaklah ia bertayammum. Bila ia bangkit mengerjakan shalat, ikut shalat bersamanya dua malaikat. Jika ia adzan dan shalat maka turut shalat di belakangnya para tentara Allah yang tidak terhitung jumlahnya.” (HR. Abdurrazzaq no. 1955. Al-Imam Al-Albani t mengatakan,”Sanad hadits ini shahih sesuai syarat para imam yang enam.”; Ats-Tsamar, 1/145)

Tata Cara Adzan

Dari 'Abdullah bin Zaid bin 'Abdi Rabbih, dia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah sepakat untuk menabuh lonceng, padahal beliau membencinya karena menyerupai kaum Nasrani, aku bermimpi berpapasan dengan seorang pria di malam hari. Ia mengenakan dua pakaian hijau sambil membawa lonceng. 'Aku berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?” Ia bertanya, “Apakah yang kau perbuat dengannya?" Aku menjawab, "Kami menggunakannya untuk menyeru shalat." Dia berkata, "Maukah kau kutunjuki (cara) yang lebih baik dari itu?" Aku berkata: "Tentu." Dia berkata, "Katakanlah:





أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.

أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ.

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ. لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.

Agak lama kemudian dia melanjutkan, "Kemudian jika engkau hendak mendirikan shalat (mengumandangkan iqamat) engkau mengucapkan:



أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.


Ketika pagi tiba, aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuberitahukan kepada beliau tentang apa yang telah kulihat (dalam mimpi). Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar insya Allah.” Kemudian beliau menyuruh adzan. Dan Bilal budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar mengumandangkan adzan dengan (lafazh tersebut).

Disunnahkan agar mu'adzin menggabungkan dua takbir dalam satu nafas.

Dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika mu'adzin mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Maka hendaklah seorang di antara kalian mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Kemudian jika mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka dia mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ ..."  Di sini terdapat isyarat yang jelas bahwa muadzin menggabungkan setiap dua takbir dalam satu nafas. Dan pendengar juga menjawab seperti itu. 

Disunnahkannya at-Tarjiil (Pengulangan).
At-tarjiil adalah mengucapkan kembali dua kalimat syahadat dengan suara keras sebanyak dua kali, setelah pengucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang pelan. 

Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan (dengan cara) ini, 

“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.” Kemudian mengulang dan mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah. Hayya 'alash Shalaah. dua kali. Hayya 'alal Falaah. dua kali. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” 

At-Tatswib  Pada Adzan Shubuh Pertama.
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan, di dalamnya terdapat lafazh, 

“Hayya 'alal falaah, hayya 'alal falaah. Ash-shalatu khairun minan nauum, Ash shalatu khairun minan nauum.(الصلاة خير من النوم)” sholat itu lebih baik dari tidur" Pada (adzan) awal Shubuh. 

(Lalu dilanjutkan dengan) “Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaah.” 

Al-Amir ash-Shan'ani berkata dalam Subulus Salaam (I/120): Ibnu Ruslan berkata, “At-Tatswib hanya disyari'atkan pada adzan Shubuh pertama. Karena ia berfungsi membangunkan orang tidur. Adapun adzan kedua berfungsi memberitahukan masuknya waktu dan seruan untuk shalat."

Disunnahkan adzan pada awal waktu dan mendahulukan khusus untuk shalat Shubuh.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Bilal adzan jika matahari telah tergelincir, dan dia tidak mengurangi (sedikit pun dari lafazh adzan). Dan dia tidak iqamat hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar. Jika beliau keluar, maka dia mengumandangkan iqamat ketika melihatnya." 

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” 

                Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah mendahulukan adzan Shubuh dari waktunya dengan sabdanya, “Janganlah adzan Bilal menghalangi salah seorang dari kalian dari sahur. Karena sesungguhnya dia adzan -atau beliau bersabda: menyeru di malam hari agar orang yang shalat malam di antara kalian kembali (istirahat) dan juga untuk membangunkan orang yang tidur di antara kalian.”

               Ketika melakukan adzan, mu'adzin tangan kanannya memegang telinga kanan dan jari telunjuknya dimasukkan ke lubang telinga. Ketika pada lafadz "hayya 'ala sholah" mu'adzin memalingkan wajahnya sedikit ke arah kanan. Ketika lafadz " hayya 'alal falah" memalingkan ke arah kiri.
Ketika melakukan iqomat, tangan kiri yang menutupi telinga kiri seperti ketika adzan, namun tanpa memalingkan muka.

Mungkin itu saja yang kita pelajari kali ini. 
Jangan lupa koreksi dan pencerahannya.
Salam Rahayu.

والسلام عليكم


0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung, Berilah kami pencerahan dengan arif dan bijak

Facebook| Twitter| Google+| About | Privacy Policy | Sanggahan | Hubungi Kami
laatansabelajar ~ Copyright © 2016 by CB