Kali ini kita akan belajar membahas masalah air. Air dalam agama islam sangatlah penting,
karena hampir semua ritualnya (thoharoh) membutuhkan air. Mulai dari mandi besar, berwudlu, menghilangkan (mensucikan...) najis dan yang lainnya.
Thoharoh menurut bahasa artinya : suci, adapun menurut syara' : suci dari hadats dan najis.
a. Hadats :sesuatu yang keluar dari tubuh manusia. misalnya kentut.
Cara penyuciannya dengan berwudlu.
b. Najis : sesuatu yang datang dari luar dan dari dalam tubuh manusia . misalnya terkena air kencing,
Cara penyuciannya dengan mencuci/menghilangkan najis tersebut.
MACAM MACAM AIR
Air menurut para ulama' terbagi menjadi 4 bagian sesuai(dipandang) hukumnya:
1. Air muthlaq (air suci dan mensucikan)
ialah air suci dan bisa mensucikan sesuatu.
Air ini dikelompokkan menjadi 7 kelompok.
a, Air hujan
Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS. Al-Furqan : 48)
b. Air salju
c. Air embun
d. Air zam zam
e. Air sumur/ mata air
f. Air sungai.
2. Air musta'mal ( air yang telah dipergunakan untuk bersuci).
Jikalau dipergunakan hanya sebatas cuci tangan yang sudah suci (misal mau makan), maka air bekas cucian tangan tersebut TIDAK dinamakan musta'mal.
Air musta'mal ini suci fisiknya tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci.
baca juga: Khasiat bacaan JaljalutBatas volume minimal
Dipandang dari volumenya air dibagi dua bagian.
a. Air sedikit, air yang kurang dari dua qullah.
b. Air banyak, air yang lebih dari dua qullah.
Ulama membedakan air yang telah digunakan (untuk bersuci) dengan batasan volume minimal, maksudnya apabila air tersebut kurang dari batas minimal ( air sedikit), maka dikatakan musta'mal, namun apabila air tersebut lebih dari batas minimal ( air banyak), maka lepas dari hukum air musta'mal.
Ulama kontemporer membuat ukuran tempat (untuk batas volume minimal) dengan ukuran Panjang = 60 cm, Lebar = 60 cm , Tinggi = 60 cm.
Dengan volume/isi kira kira 216 liter. Kalau kurang dari 216 liter dinamakan " air sedikit", dan bila lebih dari 216 liter maka dinamakan 'air banyak".
Namun kalau kita teliti lebih dalam, ternyata pengertian musta`mal di antara fuqoha' mazhab masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha' tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal :
baca juga: membuat tulisan mengikuti pointera. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.
(Lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya).
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas / menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal.
Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
baca juga: tata cara Tayammum
Dan selama air itu tidak sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` / mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
3. Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci
Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari kriteria airnya, maka dia suci namun tidak mensucikan. Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
Dari Ummi Athiyyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapur dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
Dari Ummu Hani` bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240).4. Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Najis
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum. Yaitu antara air itu berubah dan tidak berubah setelah tercampur benda yang najis. Kriteria perubahan terletak pada rasa, warna atau bau / aromanya.
a. Bila Berubah Rasa, Warna atau Aromanya
Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Bila Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aromanya
.
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak
Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi yang kencing di dalam masjid :
Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi yang kencing di dalam masjid :
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah ?. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35).
Sumur Budha`ah adalah nama sebuah sumur di kota Madinah yang airnya digunakan orang untuk mandi yaitu wanita yang haidh dan nifas serta istinja`.
Mungkin itu dulu saja yang kita pelajari kali ini pada Macam macam air dan pembagiannya. Mohon maaf bila ada salahnya.
Ditunggu koreksi dan pencerahannya.
Salam Rahayu
والسلام عليكم
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung, Berilah kami pencerahan dengan arif dan bijak